Sunday, December 6, 2020

Rice Flour

Pada prinsipnya Paddy [Sanskrit:Yavaka], Wheat [Sanskrit:Godhuma; Arab Qomah, Ivrit Khittah], dan Barley [Sanskrit:Yava; Arab Syi'ir, Ivrit Sye'orah] sama. 

Yang membuatnya berbeda, Wheat dan Barley biasa diolah terlebih dahulu menjadi tepung. Dari tepung itulah kemudian dibuat menjadi Roti. Dan Roti itulah yang menjadi makanan pokok pada masyarakat penggunanya, misalnya saja pada masyarakat Semit dan Indo-Eropa.

Sebagaimana dengan Wheat dan Barley, Paddy juga bisa dibuat tepung dan kemudian diolah menjadi Roti. Namun demikian, pada umumnya Paddy hanya diolah menjadi Beras untuk kemudian diolah menjadi Nasi. Nasi itulah yang menjadi makanan pokok pada masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara. 

Sebagaimana juga dengan Paddy, Wheat dan Barley juga bisa diolah langsung menjadi Nasi; hanya saja dilakukan sekali-kali. Demikian juga dengan Paddy, bisa diolah menjadi Roti; hanya saja dilakukan sekali-kali. 

Sehingga, apa yang membuat Paddy, Wheat, dan Barley selain perbedaan kecil dalam komposisi kandungan kimiawinya; yang paling besar menentukannya adalah pola budaya pengolahan dan pola budaya makannya. 

Barangkali, pola budaya pengolahan dan pola budaya makan tersebut; bisa saja memiliki detail pengaruh pada tubuh, pertumbuhan tubuh, dan atau efisiensi dan efektifitasnya dalam persoalan daya kerja dan daya serap gizinya oleh tubuh. 

Hal demikian barangkali hal yang sederhana, namun demikian tentu saja menarik untuk dipelajari kemungkinan-kemungkinan implikasinya.

***

Pengolahan Tepung Beras secara tradisional, dibuat dari Beras yang telah dilakukan perendaman sekitar satu malam. 

Proses perendaman tersebut dapat membuat tekstur Beras menjadi lebih mekar dan rapuh. Dari Beras yang telah direndam tersebut kemudian Tepung Beras dihasilkan. 


Karena Tepung Beras tersebut masih mengandung kadar air yang masih cukup tinggi maka, Tepung Beras tersebut kemudian masih harus dilakukan usaha pengeringan agar menjadi jauh lebih kering sempurna.

Thursday, December 3, 2020

Pembagian Administrasi Kewilayahan Pada Masa Kolonial India Belanda

Pada masa pemerintahan kolonial Nederlandsch Indie (India Belanda) atau Nederlandsch Oost Indie (India Timur Belanda), yang berlaku sejak tahun 1938 hingga 1942; wilayah administrasi (Gewest) dan kekuasaan India-Belanda dibagi ke dalam 3 buah Gouvernementen (Kegubernuran) dan 3 buah Provincie (Provinsi). 

Yang termasuk ke dalam wilayah Gouvernementen adalah: [1] Sumatra dengan ibukota (hoofdstad) Medan, [2] Borneo (Kalimantan) dengan ibukota Banjarmasin, dan [3] Groot Oost (Timur Besar) dengan ibukota Makasar. Sementara yang menjadi wilayah Provincie adalah: [1] West Java (Jawa Barat) dengan ibukota Batavia, [2] Midden Java (Jawa Tengah) dengan ibukota Semarang, dan [3] Oost Java (Jawa Timur) dengan ibukota Surabaya. 

Namun demikian, khusus di Pulau Jawa; selain wilayahnya dibagi ke dalam 3 buah Provincie, masih terdapat 2 buah Gouvernementen lainnya; yakni [1] Soerakarta (Soerakarta) dengan ibukota Surakarta (membawahi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran), dan [2] Jogjakarta (Yogyakarta) dengan ibukota Yogyakarta (yang membawahi Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman). 

Baik Gouvernementen maupun Provincie, keduanya berdiri dalam kedudukan yang setara meskipun memiliki pola administrasi khusus yang agak berlainan. Hal demikian terkait dengan luas wilayah, komposisi aparat pemerintahan pribumi (Inlands Bestuur) dan aparat pemerintahan penjajah (Europees Bestuur), dan juga pola hubungan antara pemerintah kolonial India Belanda yang bersifat langsung (Direct Bestuur) maupun yang bersifat tidak langsung (Indirect Bestuur) terhadap wilayah dan penduduk jajahannya. 

Baik Gouvernementen maupun Provincie, masing-masing dipimpin oleh seorang Gouverneur (Gubernur). Para Gouverneur, baik dari wilayah Gouvernementen maupun wilayah Provincie tersebut; kemudian berada di bawah Gouverneur Generaal (Gubernur Umum) sebagai penguasa wilayah administrasi tertinggi dalam sistem Gouvernemen (Pemerintah Pusat).

Khusus untuk pembagian wilayah Provincie, maka tata urut administrasi yang ditetapkan pada masa kolonial India Belanda adalah sebagai berikut: Pertama, Provincie (Provinsi) di bawah Gouverneur (Gubernur); Kedua, Residentie (Karesidenan) di bawah Resident (Residen). Ketiga, Regentschappen (Kabupaten) di bawah Regen (Bupati); Keempat, Districten (Kewadanaan) di bawah Wedana (Wedana); Kelima, Onderdistrict (Kecamatan) di bawah Assistent Wedana (Camat); Keenam, Desa (Desa) di bawah Desahoofd (Kepala Desa).

Jika diperbandingkan dengan sistem administrasi kuno kerajaan di Pulau Jawa, maka sistem administrasi pada masa kolonial Hindia-Belanda di tingkat Provincie tidak memiliki perbedaan yang mendasar kecuali pada daftar peristilahan saja. Misalnya Gouverneur Generaal pada Provincie setara dengan Raja pada Kerajaan; Resident pada Residentie setara dengan Adipati pada Kadipaten; Regen pada Regenschappen setara dengan Bupati pada Kabupaten; Wedana pada Districten setara dengan Wedana pada Kewedanaan; Assistent Wedana pada Onderdistricten setara dengan Camat (Demang) pada Kecamatan (Kademangan); Desahoofd pada Desa setara dengan Kepala Desa atau Lurah pada Desa atau Kelurahan.

Situasi kemudian hanya berubah dari yang asalnya seluruh struktur kekuasaan dikuasaai oleh pribumi kemudian sebagian pada puncak strukturnya diambil-alih oleh pemerintahan kolonial. Gouverneur dan Resident pada sistem Provincie dikuasai oleh Pejabat Eropa (Europees Bestuur), sementara Regen, Wedana, Camat, dan Lurah masih dibiarkan oleh pemerintahan kolonial untuk tetap dikuasai oleh Pejabat Pribumi (Inlands Bestuur).

Sementara itu, setara dengan Regenschappen (Kabupaten) yang dipimpin Regen (Bupati) oleh pejabat pribumi, masih terdapat Gementen atau Stadsgemeenten (Kota atau Kotapraja) yang dipimpin oleh Burgemeester (Walikota) yang merupakan pejabat Eropa. Sementara itu, sedikit perbedaan antara Provincie dan Gouvernementen adalah dimana pada sistem Gouvernementen di bawah Residentie (Kadipaten) yang dipimpin Resident (Adipati) masih terdapat Afdelingen yang dipimpin Assisten Resident dan Onderafdelingen yang dipimpin Controleur sebelum membawahi Districten. 

Pada sistem Gouvernementen, tidak didapati Regenschappen yang dipimpin Regen melainkan digantikan oleh dua sistem tambahan tersebut yakni Afdelingen (setara Regenschappen) dan Onderafdelingen (sebagai struktur bantu tambahan). Dan pada sistem Gouvernementen, kedudukan dari Gouverneur, Resident, Assisten Resident, hingga Controller semuanya dududuki oleh pejabat Eropa. Sementara pejabat Pribumi baru menduduki jabatan dimulai dari tingkat Districten, Onderdistricten, dan Desa.

Jika melihat lintasan data Sejarah demikian, cukup mengherankan dimana kedudukan Karesidenan atau Kaadipatian (Residenten) dan Kawadanaan (Districten) yang sesungguhnya memiliki akar Historis yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan bukan saja berasal dari masa kolonial India-Belanda berlangsung; melainkan juga mengakar pada masa administrasi periode Kerajaan Hindu-Budha hingga pada masa administrasi Kesultanan Islam justru kemudian hari dihilangkan dari struktur tata kelola administrasi negara yang ada kontemporer ini. 

Sepintas dengan hilannya dua struktur administrasi yang ada tersebut, tampak berupa perampingan organisasi pemerintahan yang baik. Namun demikian pada faktanya, dengan hilangnya kedua struktur administrasi tersebut maka fungsi vitalnya tidak akan bisa menggantikan dampak kerapihan, efektifitas, dan efisiensinya yang telah teruji dalam lintasan Sejarah yang ada. Bahkan bukti sederhanya, pengelompokkan plat nomor kendaraan hingga saat ini tanpa disadari masih merujuk pada pengakuan atas perlunya kedudukan Karesidenan sebagai aspek regionalisasi yang seharusnya ada dan masih diperlukan.

Ruang Lingkup Wilayah Provincie Van West Java Pada Masa Kolonial India Belanda

Pada masa kolonial Nederlands Indie (India-Belanda), Provincie van West Java (Provinsi Jawa Barat) beribukota (Hoofdplaats) di Batavia (Jakarta). Adapun Provincie van West Java yang dipimpin oleh seorang Gouverneur (Gubernur) tersebut, membawahi 5 buah Residentie (Kadipaten) yang dipimpin oleh seorang Resident (Adipati). Adapun dasar keputusan pembentukkan Provincie van West Java adalah surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan kemudian diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) No. 326 Tahun 1926, No. 27 Tahun 1928 jo No. 28, No. 438 Tahun 1928, dan No. 507 Tahun 1932. 

Adapun 5 buah Resident tersebut adalah: [1] Bantam (Banten) dengan Ibukota Serang, [2] Batavia (Jakarta) dengan ibukota Batavia (Jakarta), [3] Buitenzorg (Bogor) dengan ibukota Buitenzorg (Bogor), [4] Preanger (Priangan) dengan ibukota Bandoeng (Bandung), [5] Cheribon (Cirebon) dengan ibukota Cheribon (Cirebon).

Resident Bantam (Kadipaten Banten) dengan ibukota Serang tersebut, terdiri dari 3 buah Regentschap (Kabupaten) yakni: [1] Serang dengan ibukota Serang, [2] Lebak dengan ibukota Rangkasbitoeng (Rangkasbitung), [3] Pandeglang dengan ibukota Pandeglang.

Resident Batavia (Kadipaten Jakarta) dengan ibukota Batavia (Jakarta) tersebut, terdiri dari 3 buah Regentschap (Kabupaten) yakni: [1] Batavia (Jakarta) dengan ibukota Batavia (Jakarta), [2] Meester Cornelis (Jatinegara) dengan ibukota Meester Cornelis (Jatinegara), dan [3] Krawang (Karawang) dengan ibukota Poerwakarta (Purwakarta). 

Resident Buitenzorg (Kabupaten Bogor) dengan ibukota Buitenzorg (Bogor) tersebut, terdiri dari 3 buah Regentschap (Kabupaten) yakni: [1] Buitenzorg (Bogor) dengan ibukota Buitenzorg (Bogor), [2] Soekaboemi (Sukabumi) dengan ibukota Soekaboemi (Sukabumi), [3] Tjianjoer (Cianjur) dengan ibukota Tjianjoer (Cianjur).

Resident Preanger (Kabupaten Priangan) dengan ibukota Bandoeng (Bandung) tersebut, terdiri dari 5 buah Regentschap (Kabupaten) yakni: [1] Bandoeng (Bandung) dengan ibukota Bandoeng (Bandung), [2] Soemedang (Sumedang) dengan ibukota Soemedang (Soemedang), [3] Garoet (Garut) dengan ibukota Garoet (Garut), [4] Tasikmalaja (Tasikmalaya) dengan ibukota Tasikmalaja (Tasikmalaya), [5] Tjiamis (Ciamis) dengan ibukota Tjiamis (Ciamis).

Resident Cheribon (Kabupaten Cirebon) dengan ibukota Cheribon (Cirebon) tersebut, terdiri dari 4 buah Regentschap (Kabupaten) yakni: [1] Cheribon (Cirebon) dengan ibukota Cheribon (Cirebon), [2] Koeningan (Kuningan) dengan ibukota Koeningan (Kuningan), [3] Indramaju (Indramayu) dengan ibukota Indramaju (Indramayu), [4] Madjalengka (Majalengka) dengan ibukota Madjalengka (Majalengka).

Kemudian khusus untuk Batavia (Jakarta), Meester Cornelis (Jatinegara), Buitenzorg (Bogor), Soekaboemi (Sukabumi), Bandoeng (Bandung), dan Cheribon (Cirebon) statusnya berubah dari Regentschap (Kabupaten) secara bertahap menjadi Gemeente atau Stadsgeemente (beberapa istilah kemudian: Kota atau Kotamadya atau Kotapraja atau Kota Administratif).

Melalui data di atas dapat dilihat jika Batavia (Jakarta) bukan saja menjadi ibukota pemerintahan Nederlands Indie (India Belanda) semata-mata; melainkan juga sekaligus menjadi ibukota pemerintahan Provincie van West Java (Provinsi Jawa Barat). Dengan kata lain, ibukota Nederlands Indie bukan saja berkedudukan di Provincie van West Java; melainkan berkedudukan di ibukota Provincie van West Java. 

Dengan demikian, dalam sudut pandang masa kolonial India Belanda tersebut; Batavia bukan sekedar masuk ke dalam wilayah Provincie van West Java; melainkan jantung (heartland) dari wilayah Provincie van West Java. Jakarta pada hakikatnya adalah West Java (Jawa Barat), bahkan jantungnya dari West Java (Jawa Barat). Dengan meminjam Terminologi dan Teori Daerah Inti (heartland) dalam teori Geografi Politik yang dikemukakan pada tahun 1904 oleh seorang Geografer berkebangsaan Inggris yang bernama Halford John Mackinder dalam artikelnya yang ditulis untuk Royal Geographical Society dengan judul "The Geographical Pivot of History". 

Sehingga dengan demikian, Batavia (Jakarta) bisa dikatakan heartland bagi West Java (Jawa Barat), sementara West Java (Jawa Barat) adalah heartland bagi Nederlands Indie (India Belanda). Barangsiapa yang dapat menguasai heartland maka dia dapat menguasai keseluruhan wilayah taklukannya. Barangsiapa mampu menaklukkan Batavia (Jakarta) dan West Java (Jawa Barat), maka dia dapat menaklukkan Pulau Jawa (Java Eiland) secara khusus dan Kepulauan Nusantara sebagai kawasan penyangganya (hinterland). Maka apalah jadinya makna West Java (Jawa Barat) tanpa kehadiran Jakarta (Batavia), karena pada hakikatnya West Java (Jawa Barat) adalah Batavia (Jakarta) itu sendiri.

Pada masa pengadministrasian Provincie, West Java adalah Provincie yang pertama kali dibentuk. Nama resminya (official name) memang bernama West Java (Jawa Barat), namun pemerintahan kolonial India Belanda mengakui nama pergaulan yang popular yang digunakan masyarakat pribumi itu sendiri sebagai Pasundan. Jika kemudian wacana saat ini yang berkembang adalah keinginan untuk mengganti nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda, pada prinsipnya sejak masa pembentukkan Provincie van West Java hingga diperbaharui kedudukannnya dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 dan kemudian dikukuhkan dalam UU No. 11 Tahun 1950 nama familiar dalam benak masyarakat pribumi itu sendiri memang Pasundan.

Istilah Pasundan atau Pa-Sunda-an, adalah kata lain dari Tatar Sunda atau Tanah Sunda. Berdasarkan nalar sederhana, Provinsi Jawa Barat (Provinsi Jawa Kulon) sebagai suatu kawasan paling Barat (Kulon) dari Pulau Jawa (Pulo Jawa) adalah memang Provinsi Sunda itu sendiri, suatu hal yang jelas dan tidak terbantahkan dalam lintasan Sejarah. Kecuali persoalan nama itu akan diangkat kedudukannya dari yang semula berupa nama pergaulan keseharian menjadi nama resmi yang bersifat krusial dan penting. Namun demikian menurut hemat penulis, persoalan nama tersebut pada faktanya sudah tidak ada persoalan melainkan hanya menyisakan soal kepeecayaan diri untuk menggunakannya saja. 

Persoalan yang jauh lebih fundamental adalah bagaimana bisa Batavia (Jakarta) yang secara Historis terintegrasi dengan Pajajaran, dengan Kesultanan Cirebon, dengan Kesultanan Banten, dengan West Java, kemudian hari direcah keharmonisan tata administrasinya. Bahkan yang statusnya berupa Stadsgemeente (Kota) menjadi setara Gouvernementen atau Provincie (Provinsi). Meskipun bukan hal yang tidak ditemukan di dunia misalnya saja status Bangkok dan Tokyo (namun pada umumnya ibukota negara berdiri hanya setingkat District atau City yang dipimpin oleh seorang Mayor atau Burgemeester atau Walikota), namun demikian status Ibukota (Capital City) yang berada dalam otoritas Kegubernuran bukanlah suatu pengambilan keputusan pengadministrasian yang baik dan bijaksana. Dan perubahan tersebut sayangnya bukan terjadi pada masa pendudukan kolonial India Belanda atau Jepang (Jakarta Tokubetsu Shi statusnya tetap Shi [Kota] hanya merubah statusnya dari semula biasa menjadi Istimewa [Tokubetsu]), melainkan pada masa pemerintahan Republik Indonesia itu sendiri.

Selain lepasnya Batavia (Jakarta) yang semula berkedudukan sebatas Residentie (Kadipaten), disusul juga dengan lepasnya Banten yang juga semula berakar pada statusnya sebagai Residentie (Kadipaten). Bagaimana bisa di satu sisi landasan hukum perundang-undangan berdirinya Provinsi Jawa Barat masih menginduk pada UU No. 11 Tahun 1950 yang termasuk di dalamnya membawahi kawasan Jakarta dan Banten namun di satu sisi Jakarta dan Banten justru melepaskan diri sebagai unit administrasi yang terpisah yang didasarkan atas lahirnya tata perundang-undangan yang baru. 

Undang-undang terbaru terkait pendirian Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten tersebut misalnya, Provinsi DKI Jakarta berdiri di atas landasan UU No. 29 Tahun 2007 dan Provinsi Banten berdiri di atas landasan UU No. 23 Tahun 2000. Dengan lahirnya UU No. 23 Tahun 2000 dan UU No. 29 Tahun 2007 tersebut apakah dengan demikian menggugurkan UU No. 11 tahun 1950? Jika demikian, di atas landasan apa hukum apa kini Provinsi Jawa Barat berdiri?

***

Daftar lengkap administrasi kewilayahan Nederlands Indie (India Belanda) secara umum dan West Java (Jawa Barat) secara khusus dapat dilihat pada beberapa link berikut ini: 

https://nl.m.wikipedia.org/wiki/Administratieve_indeling_van_Java_(Nederlands-Indi%C3%AB)

https://www.wikiwand.com/en/Administrative_divisions_of_the_Dutch_East_Indies

KESEJAJARAN ANTARA DEWI SRI DI PULAU JAWA DAN DEWI SERES DI ROMAWI KUNO

Antara Dewi Ceres dan Dewi Bhumi

Kata Cereal dalam bahasa Inggris merujuk pada pengertian sekelompok tumbuhan dari golongan rerumputan yang dapat menghasilkan bulir-bulir bebijian (grain dan milet) sebagai sumber pokok makanan manusia. 

Kata Inggris Cereal tersebut berasal dari bahasa Prancis Cereale yang juga merujuk pada pengertian yang sama. Sementara kata Prancis Cereale berasal dari bahasa Latin Cerealis yang berarti hal-ihwal yang berkaitan dengan Ceres. 

Sedangkan kata Latin Ceres itu sendiri mengandung pengertian sebagai Dewi Bumi, Dewi Kesuburan, Dewi Pertanian, dan dewi tumbuhan rerumputan penghasil bulir-bulir bebijian tersebut. 

Dalam bahasa Latin, kata Ceres merupakan bentuk jamak (plural) dari bentuk tunggal (singular) Cere. Sementara variasi fonetik atau perubahan bentuk yang bisa terjadi atau anagram dari kata Cere tersebut adalah Cree.

Sementara apabila huruf C pada kata Latin Ceres, Cere, dan Cree saling dipertukarkan bunyinya dengan huruf S. Maka kata Ceres dapat diucapkan menjadi Seres, kata Cere dapat diucapkan menjadi Sere, dan kata Cree dapat diicapkan menjadi Sree.

Di dalam khazanah kebudayaan Yunani yang berbahasa Yunani, nama Dewi Ceres dalam khazanah kebudayaan Romawi yang berbahasa Latin disebut dengan nama Demeter. Kata Yunani Demeter merupakan bentuk pergeseran dari kata Gemeter atau lebih lengkapnya Geameter. 

Gea (atau Geo) artinya Bumi, sementara Meter artinya Ibu. Demeter dengan demikian mengandung pengertian Ibu Bumi. Kata Yunani Gea sejajar dengan kata Sanskrit Gaya, sementara kata Meter sejajar dengan mata Sanskrit Matar. 

Di dalam bahasa Sanskrit, ada beberapa kata untuk menyatakan apa yang dalam bahasa Inggris disebut dengan kata Earth atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan kata Ardh, yakni selain Gaya adalah Bhu (atau Bhumi), dan Prthvi (atau Prathivi). 

Konsep yang sejajar dengan Dewi Bumi dalam kebudayaan Yunani Demeter dan kebudayaan Romawi Ceres dalam kebudayaan India adalah Prthvi Mata (atau Prathivi Matar). Selain disebut Prathivi Matar, dalam kebudayaan India biasa disebut Bhudevi (atau Bhumidevi). 

Sementara ke dalam bahasa Melayu, konsep Prathivi Matar dalam Sanskrit diucapkan dengan nama Ibu Pertiwi dan Bhudevi (atau Bhumidevi [Dewi Bumi]) diucapkan dengan nama Ibu Bumi.

Nama Prathivi atau Bhumi untuk pertamakalinya tercatat dalam Rigveda, yakni kitab pertama dari rangkaian keempat kitab utama Sanata Darma pada periode paling tua (Periode Weda atau Sruti). Prathivi atau Bhumi merupakan pasangan dari Dyaus Pitar. Dyaus (bisa diucapkan Diaus atau Daus) yang artinya Langit, sementara Pitar (atau Patar) artinya Bapak.

Nama Daus Patar dalam bahasa Sanskrit sejajar dengan kata Yunani Zeus Pater yang lebih dikenal dengan nama Zeus. Sementara dalam bahasa Latin sejajar dengan kata Jova yang memiliki variasi fonetik lainnya sebagai Jupiter yang berakar dari kata Jova (atau Jov atau Jo atau Ju) dan Piter. 

Baik kata Pitar atau Patar (Sanskrit), Pater (Yunani), maupun Piter (Latin) artinya sama yakni Bapak (Father). Sementara Dyaus atay Daus (Sanskrit), Zeus (Yunani), dan Jova (Latin) artinya sama Langit. 

Pada akar dokumentasi paling tua dalam kebudayaan India, maka Dewi Demeter (Yunani), Ceres (Latin), akan sejajar dengan nama Prathivi atau Bhumi yang merupakan isteri dari Dyaus atau Daus. Keduanya menyimbolkan Patar (Father) dan Matar (Mother), juga melambangkan Dyaus (Sky) dan Bhumi atau Prathivi [atau Gaya] (Earth).

Antara Dewi Bhumi dan Dewi Sri

Di dalam khazanah kebudayaan Jawa (masyarakat Pulau Jawa) yang menginduk pada sistem keyakinan Siwa, kesejajaran Demeter (Yunani), Ceres (Romawi), dan Prathivi atau Bhumi (India) akan ditemukan dalam konsep Dewi Sri yang disebut juga dengan nama Nyai Pohaci Sanghyang Asri.

Pada khazanah literatur Weda yang merujuk pada 4 buah kitab Weda (Rigveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atarvaveda) yang berbasis tradisi Sruti (apa yang didengar) dengan paket tambahannya berupa Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad; terutama di dalam Rigveda. Dewi Bumi, Dewi Kesuburan, Dewi Pertanian, dan Dewi Padi-Padian (Sereal) sebagaimana dikemukakan adalah Prathivi yang memiliki nama lain Bhumi. 

Pada periode tersebut akan banyak ditemui nama-nama Dewa dan sedikit nama Dewi (pada Rigveda jumlahnya sekitar 50), namun belum ditemukan adanya konsep Trimurti (dimana Dewa tertinggi masih dipegang oleh Indra). Pada khazanah literatur Weda (Rigveda) tersebut, belum ditemukan nama Brahma dan nama Shiva (Siwa). 

Adapun di dalam himne-himne yang paling khusus untuk diagungkan adalah Indra dan Agni, Mitra dan Varuna (Baruna), Soma dan Rudra. Meskipun demikian, nama Vishnu (Wisnu) sudah muncul dan disebutkan dalam Rigveda sebanyak 6 kali (namun kedudukannya belum menjadi Dewa rujukan dimana himne-himne didendangkan untuknya).

Kemudian pada masa selanjutnya, yakni pada khazanah literatur Periode Setelah Weda yang berbasis pada tradisi Smirti (apa yang diingat) seperti Vedanga, Itihasa, Purusartha, Purana, Kavya, Bhasya, Sutra, dan Nibandha; kitab Bagawad Gita sebagai bagian khusus dari Purana (Mahabarata) diangkat sebagai kitab Weda kelima. Dan kemudian sistem Trimurti lahir bersama preferensi sekte atau aliran puja keagaaman sesuai pilihannya. Pada periode tersebut Brahma, Siwa, dan Wisnu bersama para Shaktanya mulai tereksplorasi lebih besar.

Di dalam naskah Wawacan Sulanjana yang kemungkinan ditulis pada abad ke-17 M hingga ke-19 M, yang pada tahun 1907 M oleh Pleyte diterjemahkan, sosok Dewi Sri atau Nyai Pohaci Sanghyang Asri telah muncul di Tatar Sunda. Dewi Sri atau Sanghyang Asri (Asri masih variasi fonetik dari kata yang sama Sri atau Sari) pada naskah tersebut telah terhubung dengan konsep Dewi Kesuburan dan Dewi Padi. 

Dalam tatanan masyarakat Sunda yang dipengaruhi oleh struktur keyakinan Siwa, selain konsep Tuhan Yang Maha Esa dengan istilah Sanghyang Kersa (dalam tradisi Sanata Darma Periode Weda berbasis Sruti disebut Brahman) telah hadir; demikian juga gagasan Batara Guru dan Sunan Ambu yang berkuasa di Kahyangan (Dunia Langit) juga telah hadir sebagai model pelokalan dari gagasan Dewa Siwa (Shiva) dan Shaktanya Dewi Parwati (Parvati) yang memiliki nama lain sebagai Sati, Uma, Durga, dan Kali.

Demikian juga kehadiran Sanghyang Antaboga atau Sanghyang Antaga sebagai sosok penguasa Dunia Bawah Tanah yang berbentuk Ular Besar atau Naga telah muncul dalam tradisi Sunda yang merupakan pelokalan dari gagasan Shesa, Sheshanaga, atau Adishesha yang merupakan Raja dari para Naga (Ular Besar). Makhluk dari golongan Asura yang terhubung dengan kekuasaan bawah tanah, perairan, dan lautan.

Kelahiran Dewi Sri atau Sanghyang Asri tidak bisa dilepaskan dari seting Teologi dan Kosmologi dalam tradisi India yang merujuk pada sistem keyakinan Sanata Darma dari suatu fase yang disebut dengan tradisi literatur Weda yang berbasis Sruti dan Setelah Weda yang berbasis Smirti.

Di dalam bahasa Sanskrit, Sri diucapkan dengan kata Sri yang masuk ke dalam ejahan Barat menjadi Shri, Sri, Seri, dan Sree. Sri dalam bahasa Sanskrit merupakan kata pengantar (Prefik) yang memberikan makna Sakral, Suci, atau suatu penisbatan yang menunjukkan rasa Hormat yang mendalam (bandingkan kesejajarannya dengan kata Sir dalam bahasa Inggris). 

Sebagaimana dalam basis bahasa Latin (terhubung juga dengan Kosmologi Tata Surya), makna dasar dari Sri dalam bahasa Sanskrit juga berasosiasi dengan suatu pancaran cahaya yang indah dan terang. Sri dengan demikian menjadi simbol dari kualitas yang unggul dan baik termasuk maknanya yang berkembang dalam citarasa yang bangsawan (noble).

Padi yang dalam bahasa Inggris disebut Rice, di dalam bahasa Sanskrit disebut Sali, Sari, Sri, dan Vrihi. Daftar istilah tersebut dapat ditemui dalam glosari literatur baik Sanata Darma, Budha Darma, maupun Jaina Darma. Padi masuk ke dalam golongan yang dalam bahasa Sanskrit disebut Dhanya yang artinya bulir-bulir bebijian yang dalam bahasa Inggris disebut grain (bulir bebijian lebih besar) dan milet (bulir bebijian lebih kecil).

Di dalam Jaina Darma, rincian soal Dhanya terdapat dalam Svetambara seperti pada Devagupta Nava-pada-prakarana pada bagian Laghu-vrtti. Dan juga terdapat dalam Digambara seperti pada Camundraya Caritrasa. Padi atau Rice dalam bahasa Sanskrit adalah Sali, Sari, atau Sri; Gandum atau Wheat dalam bahasa Sanskrit adalah Godhuma; Jelai atau Barley dalam bahasa Sanskrit adalah Yava atau Java (atau Jawa). 

Sementara di luar literatur Jaina Darma misalnya terdapat Jawawut atau Foxtail Milet yang dalam bahasa Sanskrit adalah Priangu atau Kangu; Jeli atau Hanjeli atau Job's Tears dalam bahasa Sanskrit adalah Gavedhuka atau Gavedhu; Sorgum atau Shorgum dalam bahasa Sanskrit adalah Javakara; dan masih banyak rincian data lainnya sebagai sumber pokok Karbohidrat dari jenis Padi-Padian atau Sereal lainnya.

Dan di luar golongan Padi-Padian atau Sereal (Dhanya) misalnya sebagai contoh terdapat daftar istilah Sagu atau Sago yang dalam bahasa Sanskrit adalah Sagu yang merupakan kanji atau saripati yang umumnya biasa diambil dari batang pohon golongan palem-paleman (Palma). Di Tatar Sunda bahan untuk membuat Sagu bisa diambil dari pohon Kawung, Gebang, dan Kiray; atau pada masa kemudian dari golongan umbi-umbian seperti Singkong (Tapioca) yang diintrodusir dari Benua Amerika.

Jika di belahan Barat ada gagasan Padi-Padian yang merujuk pada Dewi Seres maka di belahan Timur ada gagasan Padi-Padian yang merujuk pada Dewi Sri dimana antara keduanya memiliki kesejajaran dan atau bahkan lahir dari akar Historis (Sejarah) dan Common Heritage (Warisan Kebudayaan) yang sama. 

Bahwa Sri dan Seres bukan suatu konstruksi gagasan yang berbeda, melainkan hanya tertanam dalam bentang kebudayaan dan khazanah keanekaragaman alam hayati yang berbeda. Sri dan Seres pada hakikatnya adalah sama. 

Tuesday, December 1, 2020

ANTARA KATA YAVA DAN KATA YAVAKA [Suatu Alternatif Pemaknaan Dalam Menelusuri Aspek Penamaan Pulau Jawa]

[1] Yavaka-Dvipa dalam Prasasti Canggal

Di dalam buku penting (magnum opus) VERSPREIDE GESCHRIFTEN (Prof. H. Kern) De Sanskrit-Inskriptie van Canggal (Kedu), Unit 654 Caka Sarga 7 Sloka 14 dan Sloka 16 (Sanskrit Language dan Pallava Script) dapat ditemukan kalimat sebagaimana berikut: "Asiddvipavaram Yavakhyamatulandha[nya]" (Sarga 7 Sloka 14) dan "Tasmindvipe Yavakye purusa[pada]" (Sarga 7 Sloka 16).

Pada tulisan ini kita tidak dalam rangka untuk menerjemahkan keseluruhan kalimat Sanskrit tersebut, namun demikian kita menajdi dapat mengamati dengan lebih jeli bahwa di dalam bait kalimat pertama tersebut, terdapat kata Dvipa yang diapit oleh kata Asid dan Varam (Asiddvipavaram) dan Yavak yang diikuti oleh kata Hya, Matu, Landha, dan (Nya)(Yavakhyamatulandha[nya]). (Sarga 7 Sloka 14).

Demikian juga pada bait kalimat selanjutnya, dimana di sana terdapat kata Dvipe yang didahului oleh kata Tasmin dan kata Yavak yang diikuti kata Ye dan kemudian Purusa dan [Pada].
(Sarga 7 Sloka 16).

Dvipa pada kalimat pertama dan Dvipe pada variasi kalimat kedua dalam bahasa Sanskrit tersebut telah sangat jelas bermakna Pulau (Island). Kata Dvipa dalam bahasa Sanskrit tersebut dalam logat Prakrit akan berbunyi Dipa. Sementara itu, dengan seiring waktu berkembag maka Konsonan V pada kata-kata Sanskrit akan berubah ke dalam bahasa-bahasa Nusantara menjadi berkonsonan W. Maka skemanya dalam hal ini kata Dvipa akan menjadi Dwipa dan terkadang dengan mengikuti logat Prakrit akan menjadi Dipa.

Sementara Yavakhya dan Yavakye merupakan dua bentuk kata yang berakar dari bentuk kata Yavak yang dirangkaikan dengan bentuk kata tambahannya berupa kata Hya dan Ye. Yavak dalam bentuk kata sempurnanya akan berbunyi Yavaka. Sedangkan Hya dan Ye merupakan variasi kata tambahan yang kurang lebih dapat digunakan untuk menyatakan arti inilah.

Variasi lain dari Hya dan Ye yang dapat ditemukan dalam inskripsi-inskripsi Sanskrit adalah Ya, Ye, Yam, Yama, Ayam, Hyam, Hyan, dan yang dengan demikian dapat diduga kuat akan berubah seiring waktu dalam gramatika bahasa-bahasa Nusantara menjadi kata baru Hyang dan kemudian kata bantu Yang yang biasa digunakan dalam gramatika bahasa Melayu (dengan Konsonan H yang dihilangkan) pada saat ini.

Ye atau Hya secara umum ssbagaimana yang telah diungkapkan artinya adalah, inilah, itulah, itu dia, barang siapa, atau dia yang memiliki kualitas (yang dihormati) dari kata sifat yang dinisbatkan. Dengan kata lain, akar kata yang dapat kita temukan dalam kata majemuk Yavakhya dan Yavakye adalah kata Yavak yang dibentuk dari kata sempurna Yavaka. Yakni, kata dasar Yava yang dibangun dari kata Yava dengan akhiran Ka. Maka Yavaka kurang lebih artinya akan menjadi, sesuatu yang seperti Yava.

Jika pecahan kata yang tercecer dalam konteks kalimat Prasasti Canggal tersebut, kemudian dirangkaikan dalam bentuk kesatuan kata nama (proper names) maka Sanjaya dalam Prasasti Canggal 654 Caka tengah mengidentifikasi nama pulau yang ditempatinya tersebut dengan nama Yavaka-dvipa (bukan Yava-dvipa).

Yavaka-dvipa dengan demikian adalah suatu pulau yang ditumbuhi oleh tanaman dari jenis Yavaka. Suatu penanda (landmark) yang bisa jadi secara modalitas telah terjadi secara alamiah atau memang telah sengaja diusahakan dalam bentuk aktifitas resmi dalam bidang pertanian masyarakat dan telah disokong oleh kebijaksanaan pemerintah.

[2] Yava-Dvipa dalam Naskah Ramayana

Sementara itu, di dalam kitab PURANA RAMAYANA (Valmiki); pada bagian Khiskindha Kanda, Sarga 39 Sloka 28 dan Sloka 29 (Sanskrit Language dan Devanagari Script). Yakni di dalam Khiskindha Kanda, Sarga 39, Sloka 28 terdapat kalimat "...Ratnavantam Yavadvipam...". Sementara itu pada Khiskindha Kanda, Sarga 39, Sloka 29 terdapat kalimat "...Yavadvipamatikramya sisiro nama parvatah..."

Dalam struktur pengetahuan Sanata Darma, Purana merupakan bagian dari khazanah literatur Post Vedic (Setelah Weda) dengan basis tradisi Smirti (apa yang diingat). Kitab yang dicatat oleh Valmiki tersebut mengandung sistematika berupa 7 buah Kanda (bab) dengan 24.000 Sloka (bait-bait kalimat).

Dengan adanya bukti nyata bahwa kitab-kitab India ditulis dalam tinggalan literatur beraksara Devanagari (Devanagari Script) dan dalam bahasa Sanskrit (Sanskrit Language) dan juga ditulis dalam medium berupa lembaran lontar (Palm-leaf Manuscript), maka dapat diduga secara ilmiah (Filologi) usia naskah tersebut tidak setua dengan yang selama ini diutarakan.

Suatu rentang waktu kreatifitas akademik yang sesungguhnya memiliki kesejajaran dengan kreatifitas akademik yang juga tengah hangat terjadi di Pulau Jawa, dimana para Maha Kawi menuliskannya dalam bentuk bahasa Kawi (Kavi Language) dan aksara Kawi (Kavi Script) dan dengan medium yang sama berupa lembaran lontar (Palm-leaf Manuscript). Masa kreatifitas tersebut adalah suatu trend yang berkembang secara umum dimulai antara rentang abad ke-10 M hingga ke-12 M dan kemudian diakhiri pada periode Islam masuk ke Anak Benua India dan Nusantara.

Namun demikian, memahami dasar-dasar dari khazanah Filsafat India dan menguasai literatur keagamaan yang berkembang baik pada rumpun Sanata Darma, Budha Darma, dan Jaina Darma yang telah tersistematik dengan baik di India maupun di Pulau Jawa dalam suatu skema penguasaan teoretik (Body of Knowledge atau Art of States) keilmuan akan menjadi sangat penting nilainya bagi khazanah kebudayaan Indonesia itu sendiri.

Karena basis literatur Sanskrit dan Prakrit bagi Indonesia adalah memiliki kedudukan yang serupa dengan basis literatur Yunani dan Latin bagi masyarakat keilmuan Barat. Seperti dalam kasus ini, bagaimana mungkin kita dapat mengartikan asal-usul nama Pulau Jawa; tanpa kita berpaling kepada khazanah kebudayaan dan literatur sistematik India.

Di dalam Ramayana pada Khiskindha Kanda Sarga 39 Sloka 28 dan Sloka 29 terdapat nama Yavadvipam dan Yavadvipa. Dvipam adalah bentuk kata tambahan untuk merubah makna dari kata dasar Dvipa. Sementara makna Dvipa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bermakna Pulau. Sementara di dalam Prasasti Canggal dari Sanjaya didapatkan bentuk kata Yavaka maka di dalam Naskah Ramayana dari Valmiki didapati kata Yava.

Antara kata Yavaka dan Yava sepintas memang serupa, namun demikian sesungguhnya akan memiliki detail pemaknaan yang berbeda apabila kita merujuk ke dalam khazanah Filsafat India sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Secara umum (generik/general) maknanya Yavaka dan Yava memang sama, yakni merujuk pada tumbuhan dari rumpun rerumputan dan bulir-bulir bebijian yang dihasilkannya (Cereal). Namun secara khusus (spesifik/spesial) Yavaka dan Yava akan menunjukan perbedaan pada tingkatan detail tumbuhan dari rerumputan dan bulir-bulir bebijian yang lebih tertentu lagi.

[3] Perbedaan Yavaka dan Yava

Di dalam kitab Caraka Samhita Sutrasthana yang ditulis Caraka dalam bidang Ayurveda (tradisi pengobatan India). Atau kitab yang sesungguhnya secara estafeta ditulis oleh generasi Atreya, Agnivesa, Caraka, hingga kemudian diakhiri Dridhabala tersebut dikatakan bahwa Yavaka adalah nama yang digunakan untuk menyatakan jenis tanaman Padi (Inggris: Paddy); dimana Yavaka atau Padi dianggap memiliki kualitas yang kurang baik. Sementara itu, di dalam kitab yang sama Yava digunakan untuk menyatakan apa yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Barley.

Di dalam kitab Purana, yakni Saurapurana sebagai bagian dari kitab Upapurana (agama puja Shiva),Yavaka merupakan bagian dari Naivedya (sesajen) yang dipersembahkan pada bulan Vaisakha pada upacara keagamaan Anangatrayodasivrata yang dimulai sejak bulan Margasira. Yavaka dalam tradisi persembahan agama puja Siwa (Shiva) tersebut adalah Padi. Pada persembahan tersebut yang digunakan adalah Yavaka (Padi), dan bukan Yava (Barley). Namun demikian, dalam upacara Yava-puja dalam kitab Purana yang lain, yakni kitab Shivapurana yang digunakan justru ratusan ribu bulir-bulir Yava (Barley) sebagai syarat persembahan untuk Shiva.

Dalam kitab Bhojanakutuhala pada bagian Pakasastra dikatakan bahwa Yava (Barley) merupakan jenis makanan pokok yang diutamakan derajatnya pada masa India Kuno periode awal yang tergambarkan dalam catatan-catatan Rigveda dan Yajurveda. Sementara pada masa tersebut, meskipun Yavaka (Paddy) dan Godhuma (Wheat) sudah dikonsumsi masyarakat India namun demikian statusnya masih bersifat sekunder. Dan selanjutnya, status Yavaka (Padi) dan Godhuma (Wheat; Melayu: Gandum) baru mendapatkan penghargaan yang utama pada periode kitab Atharvaveda, selain tentu saja kedudukan Barley (Yava) yang bersifat utama.

Masih di dalam kitab Bhojanakutuhala pada bagian Dravyagunaguna-kathana Yava (Barley), Godhuma (Wheat), dan Yavaka (Paddy) yang dalam catatan kitab tersebut digunakan kata Sali; merupakan bagian dari tumbuhan yang dimasukkan dalam kelompok Dhanya yang berarti bulir-bulir bebijian dari rerumputan baik besar (grain) maupun kecil (millet) dalam perspektif Barat.

Di dalam kitab Svetambara dan kitab Yogasastra dari Jaina Darma, bulir-bulir bebijian tersebut (Dhanya) telah diinventarisasi sebanyak 17 jenisnya. Diantaranya adalah Yava (Barley), Godhuma (Wheat), Priyangu (Foxtail Millet) yang dalam kamus bahasa Sunda karya Rigg disebut Jegeng dan dalam kamus Coosma pada periode selanjutnya disebut Jawawut. Sementara Padi (Paddy atau Rice) dalam catatan Jaina Darma dikategorikan ke dalam dua jenis banyaknya, yakni Vrihi dan Sali. Di sini kita bisa tetap memegang pendapat bahwa Vrihi dan Sali adalah masih sama saja secara konseptual dengan Yavaka (Padi).

Sebagaimana yang dapat ditemukan dalam kebudayaan Yunani, kebudayaan Romawi, dan kebudayaan Arab; Yava (Barley) memegang sangat memegang peranan penting; dimana salah-satunya menjadikannya sebagai satuan hitung. Bahkan dalam kebudayaan Arab Islam yang kemudian berkembang, Barley atau Syi'ir (Arab) bukan sekedar satuan hitung bahkan dapat dikembalikan nilainya sebagai standar kalibrasi dan konversi satuan hitung itu sendiri. Dalam kitab Vastusastra dan Manasara di India misalnya, 1 Yava sama dengan 8 Yuka, 8 Yava sama dengan 1 Angula. 1 Yuka sama dengan 8 Liksa, 1 Liksa sama dengan 8 Valagra dan lain sebagainya.

Di dalam kitab Isvarasamhita dari aliran puja Narayana, Yava (Barley), Godhuma (Wheat), Sali (Padi), Priyangu (Foxtail Millet) merupakan bagian dari 7 tanaman bulir-bulir bebijian lainnya yang tumbuh di sekitar lahan pedesaan pada masanya. Bulir-bulir bebijian tersebut biasa digunakan dalam upacara Kunda, yakni suatu upacara persembahan yang dilengkapi dengan pembakaran pada bak khusus api suci.

Melalui hasil pembacaan literatur India dapat diketahui jika Yava merujuk pada Barley, sementara Yavaka merujuk pada Paddy (Rice). Istilah lain yang digunakan untuk menyatakan Yavaka adalah Sali dan Vrihi dan di sumber-sumber lainnya, kata Yavaka, Sali, dan Vrihi disebut juga dengan kata Sari dan Sri.

[4] Pulau Jawa Yang Berakar Pada Yavaka-Dvipa Adalah Pulau Padi

Dalam uraian sederhana tersebut kita dapat melihat bahwa dalam Naskah Ramayana Valmiki terdapat kata Yava-dvipa yang dapat diartikan Pulau Barley. Sementara dalam Prasasti Canggal Sanjaya terdapat kata Yavaka-dvipa yang dapat diartikan Pulau Paddy.

Pengambilan data fonetik pada Naskah Ramayana bukan dalam rangka menafsir konstelasi Geografis dalam rangka usaha pencarian Sita yang diperintahkan Raja Kera Sugriwa kepada para Perwira Kera Kiskenda, dimana salah-satu wilayah pelajakannya adalah di Yava-dvipa (Pulau Jawa). Bukan saja lokasi Pulau Jawa dalam Valiki itu dapat diperbincangkan hubungannya dengan Pulau Jawa di Nusantara. Melainkan bahkan menafsirkan seting zaman Rama dan Sita yang ditempatkan di Anak Benua India sekalipun, juga masih dapat diperbincangkan akurasi pijakan Historisnya (apakah Anakronistik atau tidak).

Adapun upaya pengambilan data fonetik dari Naskah Ramayana Valmiki adalah untuk menunjukkan bahwa khazanah pengetahuan India telah mengetahui secara teoretik dan akademik bahwa Yava dan Yavaka adalah dua identifikasi yang berbeda. Dan meskipun Prasasti Canggal yang bersifat Epigrafi dengan demikian secara usia akan jauh lebih tua dari usia Naskah Ramayana yang bersifat Filologi, namun demikian dasar pengetahuan dan pewarisan budaya lisan (Oral) yang merentang meneratasi tradisi Epigrafi dan Filologi tentu saja tetap harus menjadi bahan pertimbangan yang bijaksana pula. Bahwa dimana tradisi Siwa di Pulau Jawa juga tentu saja akan menjadi pewaris tradisi dan memegang memori kolektif kesadaran riwayat leluhurnya yang merentang jauh hingga ke Anak Benua India. Maka tradisi dengan demikian, Sanjaya tentu saja dapat diandaikan telah memahami dan mewarisi tradisi pengetahuan akademik dan teoretik dari Anak Benua India (dan termasuk dugaan kontak kebudayaan yang masih berlangsung antara Nusantara dan India pada hingga masa tersebut). Masalah yang muncul dengan demikian adalah dimana kata Yavaka kemudian bergeser menjadi kata Yava saja.

Terlepas dari Yavaka yang berubah menjadi Yava, maka Yava dengan Konsonan Y adalah masih berbunyi bahasa Sanskrit. Bunyi Konsonan Y yang terdapat dalam Prasasti Canggal (Mataram) 654 Caka kemudian berubah menjadi Konsonan J pada Prasasti Kota Kapur (Sriwijaya) 686 Caka yang lebih dipengaruhi logat bahasa Prakrit (Pali). Yavaka-dvipa versi Prasasti Canggal kini berubah menjadi Bhumi Java (namun demikian Konsonan V belum berubah menjadi W). Soal pergeseran Konsonan Y menjadi J pada kedua prasasti tersebut dikemukakan juga oleh Waruno Mahdi (Fritz-Haber-Institut,Berlin,Germany) dalam tulisan jurnalnya berjudul In search of an historical Sea-People
Malay dialect with -aba-.

Sementara itu, Konsonan V akan berubah sebagaimana umumnya ditemui dalam bahasa-bahasa Nusantara menjadi W (atau kadang B) pada periode kemudian. Maka jadilah kata Yava tersebut kemudian menjadi Java,  dan kemudian hari menjadi Jawa.

Selain diperngaruhi pergeseran dari bahasa Sanskrit menuju bahasa Prakrit, Konsonan J dipengaruhi juga oleh transliterasi periode kolonial Belanda menuju periode kolonial Inggris. Apabila Belanda menulis Konsonan J untuk dibaca Y, maka Inggris menulis J untuk dibaca J. Sementara Konsonan W kemungkinan besar bergeser seiring dengan hadirnya arus pelafalan Arab yang pada umumnya mengucapkan V menjadi W pada trend periode Islam.

Perbedaan Yava dan Yavaka dalam literatur India memiliki implikasi yang tidak sederhana. Yava adalah berarti Barley (yang diterjemahkan dalam kamus bahasa Indonesia sebagai Jelai [harus ditinjau ulang akurasi dan kemudahan imajinasinya), sementara Yavaka adalah berarti yang seperti Barley, dengan kata lain Yavaka adalah Sali atau Sari atau Sri atau Vrihi (barangkali berubah jadi Pare dengan Ha yang hilang) yang berarti Paddy (Padi).

Maka dengan demikian, Yava-dvipa akan berarti Pulau Jelai sementara Yavaka-dvipa akan berarti Pulau Padi. Dan Sanjaya telah menamai dan atau meneruskan aspek penamaan (toponimi) Pulau Jawa tersebut, tentu saja dengan melalui kesadaran dan aspek penguasaan pengetahuan dan juga pengamatan lapangan yang baik. Dengaan demikian aspek penamaan Yavaka-dvipa (Pulau Padi) kemudian akan menjadi kohern dengan tradisi Dewi Sri yang menenpati kedudukannya yang penting dalam tata nilai budaya pertanian Pulau Jawa; jika dibandingkan harus bernama Yava-dvipa yang berarti Pulau Jelai (Barley).
***
Daftar Rujukan:
1. Vespreide Geschriften van PROF. DR. H. KERN, Zevende Deel, Inscripties van Den Indischen Archipel, Slot, De Nagarakrtagama, Eerste Gedeelte, S-GRAVENHAGE
MARTINUS NIJHOFF,
1917. (PDF)

2. In search of an historical Sea-People
Malay dialect with -aba- by Waruno Mahdi (Fritz-Haber-Institut,Berlin,Germany), Part 2 Sound Change, Austronesian historical
linguistics and culture history:
a festschrift for Robert Blust,
Edited by
Alexander Adelaar and Andrew Pawley, Pacific Linguistics
Research School of Pacific and Asian Studies The Australian National University, 2009. (PDF)

3. Ramayana by Valmiki, Kishkindha Kanda, Sarga 39, Shloka 28 and Shloka 29. (Online). https://sanskritdocuments.org

3. Entri kata Yavaka and Yava dalam kolektif books, articles, essay's, Hymns Buddhis, Hinduism, Jainism (Online). https://sanskritdocuments.org


Rice Flour

Pada prinsipnya Paddy [Sanskrit:Yavaka], Wheat [Sanskrit:Godhuma; Arab Qomah, Ivrit Khittah], dan Barley [Sanskrit:Yava; Arab Syi'ir, Iv...